GAGAL FAHAM GAYA CSW : IDE NGAWUR PROSES SERTIFIKASI HALAL INDONESIA GAYA CSW
Oleh : Ustadz Al Syarif Al Jalal Al Husaeyni, ST, PGDM
Mengaku sebagai lembaga penguatan Sipil, CSW yang digawangi oleh para amatiran, yang asal bicara, membuat kesimpulan-kesimpulan yang fatal. Kelompok ini dan juga anggotanya sejak sebelum mendirikan lembaga penguatan sipil kaleng-kalengnya pertengahan tahun ini, sudah terkenal selalu membuat pendapat aneh, yang membuat onar dan membuat orang harus tepuk jidat sambil melongo atau menjulurkan lidah.
Berbeda dengan rezim Orde Baru yang selalu harus berbicara dengan sopan dan baik. Jangan sampai membuat orang lain tersinggung atau tersungging. Salah bicara masuk penjara. Itu adalah ciri utama rezim Orde Baru.
Tapi syukurlah masa-masa menegangkan Orde Baru itu, telah berlalu. Setelah Reformasi, semua bisa bicara bebas, tak terbatas. Bahkan Media massa pun, tidak bisa lagi dibreidel oleh siapapun. Undang-undang menjamin kebebasan Pers. Tak perlu ijin apapun, untuk mendirikan media, cukup syarat-syarat kejelasan pengelola nya saja. Tak lagi ada SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan), gaya Departemen Penerangan, yang oleh Presiden Gus Dur kemudian dibubarkan.
Bandingkan kondisi Indonesia saat ini, misalnya dengan Iran. Penulis pernah diundang bersama pemimpin media massa Indonesia lain dan salah satu staf khusus lembaga Kepresidenan, untuk melihat kondisi media dan kebebasan bicara di Iran sekitar 4 tahun yang lalu. Negeri yang dijaga oleh Imam Khomeini, tersebut memiliki ratusan media yang melayani rakyat. Akan tetapi jangan coba-coba bicara sembarangan di Iran, kalau tidak ingin berhadapan dengan pihak polisim tentara, dipanggil Garda Revolusi, Dinas Rahasia, atau lembaga keamanan negara lainnya. Media massa yang berani bicara ngawur akan langsung dibreidel oleh pemerintah, persis seperti jaman Orde Baru.
Para pemimpin redaktur Media Iran, yang ditemui oleh penulis di Teheran, mengaku tidak memahami apa yang sedang terjadi di Indonesia. Media massa tanpa breidel, bagi media massa di Iran, dan di banyak negara lain, adalah sebuah mimpi di siang bolong. Bagaimana mungkin media diberi kekuasaan yang sedemikian besar, di sebuah negara dengan tingkat kemajuan seperti Indonesia. Belasan ribu bahkan puluhan ribu media saat ini ada di Indonesia, menjamur tak bisa dihentikan, setelah deklarasi kebebasan media massa oleh Presiden Habibie, luar biasa.
Seorang gelandangan di pinggir jalan, yang gagal diurus oleh negara pun, boleh berbicara. Tak perduli, apakah yang dibicarakan itu hal yang benar dan salah, apakah kontennya benar atau tidak, apakah pemahamannya benar atau salah.
Sama seperti pendapat CSW tentang proses sertifikasi halal, yang ada di negeri ini. Data kaleng-kaleng, pemahaman yang tidak komprehensif tentang proses sertifikasi halal, dan deretan kata-kata ngawur panjang yang lain yang diungkapkan oleh CSW tanpa memahami konten apa yang sebenarnya dibicarakan.
2. Proses Sertifikasi Halal Di Indonesia Dan Ide Khilafah CSW
Sejak Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal, UU No.33/2014, diundangkan, Indonesia memasuki babak baru yang menyenangkan bagi para penganut agama Islam. Negara dengan sangat bijaksana melakukan langkah penting Jaminan Produk Halal (JPH) yang beredar di seluruh wilayah NKRI.
Ini adalah sebuah prestasi besar dalam regulasi, bagi pemeluk agama di Indonesia. Sekaligus membuktikan bahwa dasar Negara Pancasila, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, benar-benar ada. Negara melindungi aktivitas pemeluk Agama (dalam hal ini Agama Islam) dalam menjalankan aktivitas ibadahnya sehari-hari.
Dalam Agama Islam, proses konsumsi makanan minuman, adalah bagian dari sebuah proses ibadah. Demikian juga melakukan segala sesuatu, dalam kegiatan sehari-hari adalah ibadah.
Halal adalah hal paling penting dalam kehidupan seorang muslim. Karena jika ada hal yang haram, maka berarti ada bahaya yang mengancam aktivitas ibadahnya.
Revolusi yanag terjadi di Iran, adalah salah satu contoh yang bagus, untuk bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan penganut Agama Islam di Indonesia. Revolusi Iran itu, sejatinya bangkit terjadi, karena masalah implementasi fatwa haram minuman keras. Rezim Syah Iran mengijinkan penjualan minuman keras di mini market dan warung di seluruh negeri Iran.
Imam Khomeini dan kelompok ulama pemikir agama Iran, menolak legalisasi minuman keras ini di seluruh negeri Iran. Mereka meminta agar minuman keras tidak dilegalkan dijual di warung dan mini market seluruh negeri, karena 90 % lebih warga negara Iran beragama Islam, yang mengharamkan minuman keras.
Suara para ulama ini kemudian didukung oleh kelompok Mahasiswa, di seluruh Negeri. Setelah berjuang bertahun-tahun, maka sekelompok besar mahasiswa, pemikir dan ulama berhasil mengusir Syah Iran Reza Pahlevi ke Eropa. Salah satu wartawan senior Indonesia, beruntung menjadi satu-satunya jurnalis di dunia yang menemani Syah Iran di pesawat keluar dari Iran dan lari Ke Eropa.
Setelah pemerintahan revolusi terbentuk. Presiden Iran terpilih, mengundang Imam Khomeini dari Perancis untuk pulang kembali ke Teheran. Imam Khomeini tidak menduduki posisi sebagai politisi atau pejabat politik negara. Imam Khomeini diberikan sebagai posisi ulama, yang melakukan proses verifikasi hukum Islam di dalam negeri. Karena dalam realitasnya, tidak mudah melakukan proses verifikasi hukum agama, di tengah-tengah masyarakat yang cenderung hidup secara sekuler.
Kehalalan adalah sebuah proses yang membutuhkan fatwa ulama. Karena luasnya dan juga rumitnya hukum Agama (dalam hal ini Agama Islam). Pemerintah NKRI, tidak bisa menentukan status kehalalan atau keharaman sesuatu, karena NKRI bukanlah negara Agama. Dasar negara Indonesia bukanlah dasar Agama, akan tetapi dasarnya adalah dasar negara Pancasila.
Mereka yang tidak memahami dengan baik stuktur negara dan juga posisioning Dasar Negara, tidak memahami hal ini dengan baik.
Sama seperti yang dikatakan oleh pembicara dari CSW. Dalam narasinya yang disebar-luaskan secara membabi buta si pembicara CSW mengatakan :
"....Tapi BPJPH hanya bisa mengeluarkan sertifikat halal kalau sudah ada fatwa halal dari MUI.... Jadi fatwa MUI lah yang masih menentukan keluar tidaknya sertifikat halal. Ini yang nampaknya harus dirombak. Idealnya tidak perlu ada lembaga yang mengeluarkan fatwa halal. Seharusnya begitu sebuah produk diaudit dan diketahui tidak mengandung muatan non halal, BPJPH bisa langsung mengeluarkan sertifikat halal......."
CSW secara mendadak dan membabi buta, menuduh MUI sebagai penyebab kekacauan dalam proses sertifikasi halal.
Narasi ini dibangun dengan memberikan sederet contoh penyelewengan yang dilakukan oleh oknum MUI, dan data-data yang diangkat oleh sebuah media massa Nasional.
CSW bukanlah ormas Islam. CSW mengaku sebagai lembaga penguatan sipil, Civil Society. Artinya CSW bukanlah unsur dari penganut agama Islam di Indonesia. Bahkan tidak pernah disampaikan, apa yang menjadi agama, dari para pendiri dan anggota CSW, atau bahkan pembicara CSW soal ini. Yang jelas azas berdirinya CSW, bukanlah Al Qur'an dan Sunnah Nabi.
Jadi bagaimana sebuah organisasi yang tidak jelas afiliasi keagamaannya, kemudian membuat sebuah pendapat dan masukan tentang sebuah proses yang terjadi secara internal dalam Agama Islam ? Bukankah hal ini menggelikan ? Atau kalau tidak, bisa dikatakan bahwa CSW ini bukannya menguatkan masyarakat sipil (Civil Society) akan tetapi malah membuat lemah masyarakat sipil.
Proses penentuan halal dan haram di Indonesia adalah sebuah proses yang hanya mengikut-sertakan ulama ahli agama Islam, karena sekali lagi, NKRI adalah Negara Pancasila dan bukan Negara Agama apalagi Negara Islam. Karena itu di dalam UUD 1945, tidak pernah ada petikan pasal yang mengutip ayat langsung dari Al Qur'an atau mungkin ayat dari Kitab Ijil atau dari Bhagawadgita atau dari Kitab Konfusius.
Agama adalah salah satu entitas, yang harus dilindungi oleh Negara, di dalam Negara Pancasila. Akan tetapi, Negara tidak akan memasuki masjid masjid, untuk
mengatur cara dan fatwa ibadah sholat. Juga negara tidak akan memasuki Gereja, untuk mengatur bagaimana ibadah Paskah itu dilakukan.
Para amatiran seperti CSW adalah kelompok yang tidak memahami dengan baik bagaimana sistem bekerja di negara Pancasila dengan baik.
Pendapat CSW yang mengatakan bahwa
"...Seharusnya begitu sebuah produk diaudit dan diketahui tidak mengandung muatan non halal, BPJPH bisa langsung mengeluarkan sertifikat halal...."
adalah pendapat ngawur yang menunjukkan kedangkalan CSW dalam memahami negara Pancasila.
Tentu saja BPJH tidak bisa mengeluarkan sertifikasi halal, meskipun telah mengetahui tidak adanya kandungan muatan non halal, di dalam produk. Ide CSW ini adalah seperti ide yang sama, menyuruh negara mengatur fatwa sholat, di Masjid atau negara mengatur Ibadah Paskah di Gereja.
Sekelompok masyarakat yang sangat phobia pada komunis, langsung bisa menunjuk, bahwa ide-ide CSW adalah ide-ide komunis. Karena ide liberalis di negara-negara liberal tidak membuat mereka memasuki Masjid, Gereja, atau Pura, Sinagog. Hanya komunis yang memasuki Masjid, Gereja, dan Pura, lalu mengubah syariat masing-masing Agama sesuai dengan hukum negara Komunis.
CSW harus berhati hati dalam berpendapat. Karena kalau tidak mau dibilang pendapatnya ngawur, maka pasti pendapatnya ditunjuk menyuarakan pendapat dan pandangan komunis. Dan bukanlah pendapat mereka yang beragama Islam. Padahal sertifikasi halal adalah domain khas dan khusus dalam Agama Islam.
Penganut Agama Islam faham dan tahu, bahwa dalam beribadah mereka akan mengikuti fatwa para ulama. Karena ulama adalah para pewaris Anbiya'. Para Ulama adalah para pewaris Nabi. Penganut Agama Islam, menjalankan Ibadah Sholat dan Puasa dengan berpedoman pada Al Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan pada ketentuan peraturan Perundang-undangan, atau bahkan berdasarkan pasal-pasal di dalam UUD.
Karena sekali lagi NKRI bukanlah negara Agama. Urusan Agama adalah urusan internal umat beragama. Dan Negara mengambil posisi melindungi seluruh Agama. Kekacauan logika soal Negara Pancasila, dan Agama sering disuarakan. Dan CSW memperparah lagi kelucuan itu dengan membuat pernyataan soal proses sertifikasi halal. Tentu saja domain agama dan domain NKRI, Dasar Negara Pancasila tidak bisa disandingkan dengan sembrono seperti itu. Pemahaman kuat oleh kebangsaan dan kenegaraan ini lah yang kemudian mengubah Jakarta Charter menjadi Pancasila seperti yang ada dalam Pembukaan UUD 1945. Tapi perdebatan soal itu telah usai, karena UUD 1945 diterima dengan baik di seluruh wilayah negara NKRI.
Pendapat CSW yang mengatakan bahwa
"...Seharusnya begitu sebuah produk diaudit dan diketahui tidak mengandung muatan non halal, BPJPH bisa langsung mengeluarkan sertifikat halal...."
adalah pendapat yang menyuruh BPJPH, yang merupakan organ negara berperan
menjadi organ agama. CSW mengusulkan BPJPH tidak memperdulikan MUI. Langsung saja memberikan sertifikasi halal.
Ide dari CSW ini adalah repetisi dari ide-ide dari Khilafah, yang telah dilarang oleh Negara, beberapa waktu yang lalu. Ide Khilafah yang salah, yang dilarang oleh pemerintah serupa dengan ide CSW. Idenya menyuruh negara, menegakkan hukum syariat dengan lembaga negara. Lembaga negara lah yang menetapkan fatwa dan hukum syariat, jangan MUI yang hanya LSM. Lalu apa bedanya ide CSW dengan ide Khilafah yang sudah dilarang itu.
Khilafah dilarang, karena ide dasarnya adalah, mengambil alih negara Pancasila dengan syariat Agama Islam. Dalam bidang ibadah, ide Khilafah tidak pernah ada salahnya, boleh-boleh saja. Akan tetapi dalam bidang kenegaraan ? NKRI sejak berdiri telah sepakat mengambil dasar negara Pancasila, dan bukan dasar Negara Islam. Pancasila dan bukan Jakarta Charter.
Kalau inging mendirikan Negara Islam, silahkan pindah saja ke wilayah yang masih kosong di dunia ini. Mungkin ke Benua Antartika. atau mungkin ke wilayah yang masih belum diduduki negara lain di dunia, di Bulan saja gimana ?
"...Seharusnya begitu sebuah produk diaudit dan diketahui tidak mengandung muatan non halal, BPJPH bisa langsung mengeluarkan sertifikat halal...."
diimplementasikan saja di Benua Antartika atau di Bulan. Sekalian meneruskan ide Khilafah yang sudah dilarang oleh pemerintah.
Di masa Rezim Orde Baru, para anggota CSW langsung akan diinterogasi oleh lembaga khusus d bawah Rezim. Mereka akan di screening dan dilihat apakah ide mereka ini disusupi oleh ekstrim kiri (komunis) atau ekstrim kanan (ekstrim agama)
Tapi setelah Reformasi menggantikan Orde Baru, dan bahkan mengantarkan NKRI
dipimpin oleh Presiden Jokowi, omong kosong ngawur seperti CSW itu sama sekali
tak akan dilirik oleh negara. Tak akan ada screening dari negara, atau tindakan tangan besi seperti masa Orde Baru.
Akan tetapi CSW tidak boleh lupa, di tingkat grassroot, masyarakat awam, ada banyak kelompok. Masih ada kelompok masyarakat yang berpendapat, bahwa bicara berperilaku sopan santun, dan tidak ngawur itu adalah kewajiban.
Di Madura ada Budaya Carok, membacok orang dengan celurit pada orang yang sembarangan bicara itu, masih tak mampu dicegah oleh negara. Mereka yang merasa tersinggung datang dengan celurit mengajak beradu ketangkasan menggunakan senjata celurit, sampai salah satu tewas.
Adat Mandau di Kalimantan juga tak kalah mengerikan. Jangan sembarangan bicara, kalau tidak, isi otak kepala bisa jadi makanan para pengguna Mandau di Kalimantan. Atau apakah suku pohon di pedalaman Papua yang kanibal memakan manusia itu sudah berhasil diatasi oleh negara ? Suku pohon Papua itu menguasai wilayah-wilayah hutan rahasia di Papua dengan bebas. Mereka bukanlah OPM, kelompok teroris itu. Akan tetapi suku tak tersentuh peradaban ini masih eksis di wilayah-wilayah hutan rimba rahasia di Papua.
Ada masyarakat adat, yang mereka bergerak dengan hukum adat. Dan realitas ini terjadi di negeri ini. Karena itulah, maka negara misalnya, memberikan status istimewa pada Provinsi NAD (Nangroe Aceh Darussalam), atau pada Yogyakarta. Status istimewa ini adalah sebuah pengakuan negara, pada corak khas adat yang tidak mampu dijangkau oleh negara. Negara Pancasila tidak pernah memaksakan apapun pada rakyatnya. Akan tetapi Negara Pancasila menerima akad seluruh komponen masyarakat yang bergabung ke dalam NKRI dengan suka rela.
NKRI adalah sebuah negara yang berdiri di atas semua. Adat, budaya, perbedaan ras, perbedaan golongan, dan kelompok, juga agama. Kondisi ini adalah sebuah realitas yang ada di negara ini.
Berjalan dengan bukan muhrim di NAD (Nangroe Aceh Darussalam) akan menerima hukuman pukulan rotan. Apalagi berbuat tidak senonoh seperti yang disampaikan dalam peraturan menteri pendidikan yang kontroversial itu. Akan tetapi tanpa undang undang keistimewaan NAD, maka hukumam rotan di NAD, adalah pelanggaran hukum, dan bahkan menjadi pelanggaran HAM di wilayah yang lain. Di NAD adalah penegakan hukum akan tetapi di wilayah lain tidak. Betapa kompleksnya Indonesia.
Demikian juga soal halal dan haram. Sebaiknya tidak usah berpendapat, jika tidak
memahami apakah hakikat halal dan haram itu.
"...Seharusnya begitu sebuah produk diaudit dan diketahui tidak mengandung muatan non halal, BPJPH bisa langsung mengeluarkan sertifikat halal...."
Kondisi Halal dan haram, terjadi bukan karena muatan non halal, yang dikandung dalam sebuah produk. Halal dan haram adalah sebuah status yang diputuskan oleh Allah dan Rasul Nya. Sebuah fatwa harus sebagai turunan dari keputusan Allah dan Rasul Nya. Fatwa diberikan oleh meraka yang memahami hukum Agama Islam dengan baik.
Halal dan haram bukan karena muatan non halal, yang dikandung dalam sebuah produk. Halal dan haram adalah sebuah status yang diputuskan oleh sebuah fatwa agama Islam. Daging babi menjadi tidak haram, jika ada syarat ketidak-haraman dari keharaman hukum-nya terpenuhi. Demikian juga status halal dan haram yang lain. Status halal dan haram ditentukan oleh pengkajian yang mendalam tentang pemahaman ilmu berbasis Al Qur'an dan As Sunnah. Bukan tentang muatan non halal di sebuah produk, yang bisa saja ditentukan oleh laboratorium pengujian di manapun juga. Esensi halal dan haram bukanlah tentang muatan non halal di sebuah produk.
Pengetahuan dangkal CSW tentang esensi halal dan haram seperti ini, menyesatkan masyarakat Agama Islam dalam beragama. Apa dalil CSW dari Al Qur'an dan As Sunnah yang membuat CSW berkata seperti itu. Apakah dalilnya setara dengan dalil yang dibuat oleh MUI ?
MUI bukanlah sebuah lembaga kaleng-kaleng seperti CSW. MUI dan CSW sama sama LSM. MUI membuat sebuah fatwa berdasarkan kajian ilmu yang mendalam. Dalilnya lengkap dari Al Qur an dan As Sunnah. Kalau mau menyingkirkan MUI bisa saja, tapi harus dengan dalil, yang jauh lebih kuat, yang ditunjukkan di dalam Al Qur an dan As Sunnah. Bukan berlindung di balik nama penguatan masyarakat sipil. Menyingkirkan MUI harus dengan dalil Al Qur an dan As Sunnah.
Kalahkan lah atau singkirkanlah MUI dengan dalil yang kuat dari Al Qur an dan As Sunnah. Kalau tidak mampu, yang CSW lakukan, hanyalah langkah kaleng-kaleng yang tidak memiliki bobot apa apa.
Meminta pemerintah melakukan tugas-tugas membuat fatwa menggantikan fatwa MUI adalah ide yang sama dengan yang diusulkan oleh kelompok Khilafah. Apakah CSW memang meminta negara berubah haluan dari Negara Pancasila ke Negara Agama Islam? Sehingga Negara pun melalui BPJPH diminta memasuki ranah Agama. Negara saja yang membuat fatwa halal. Jangan MUI, yang hanya LSM, apakah begitu narasi yang diusulkan oleh CSW?
Kenapa CSW tidak membubarkan diri saja ? Karena jelas-jelas ide CSW adalah sama persis dengan ide Khilafah, meminta negara berubah menjadi negara Agama Islam.
Berikut petikan pendapat CSW
".....Pencantuman nama MUI sebagai pemberi fatwa halal itu sendiri mengherankan. MUI adalah LSM, seharusnya mereka tidak diberi kekuasaan untuk memegang hak monopoli fatwa halal yang ditetapkan dalam UU. Dengan adanya otoritas itu, MUI berposisi seperti lembaga negara. Seharusnya otoritas itu diberikan kepada sebuah lembaga negara..........."
Petikan pendapat CSW ini, adalah petikan pendapat yang sama, seperti yang disuarakan oleh kelompok Khilafah, yang terlarang itu. Memaksa negara menegakkan syariat Agama Islam, melalui Lembaga Negara. Lembaga Negara harus mengambil alih penegakan Syariat Agama Islam begitu esensi usulan dari CSW. Dan ini adalah usulan lain yang pada dasarnya adalah usulan dengan ide dasar mengganti dasar Negara Pancasila dengan dasar Negara Agama Islam.
Pasti kelompok Khilafah yang terlarang itu bersyukur, karena bahkan setelah kelompok mereka dilarang oleh negara, suara mereka sekarang diteruskan oleh CSW. Selamat, CSW telah menjadi organ baru, penyambung lidah dan ide kelompok Khilafah terlarang, yang terkenal itu.
Berhati-hati saja CSW, kalau ada pejabat negara yang memahami ide berbahaya anda ini. CSW bisa dikatagorikan sebagai organisasi underbow baru dari kelompok Khilafah yang terlarang itu.
Sudah jelas CSW mengusulkan agar negara mengeluarkan fatwa halal. Bagaimana mungkin negara Pancasila mengeluarkan sebuah fatwa halal ? Kecuali memang dasar negara Pancasila diubah menjadi Dasar Agama Islam. CSW adalah organisasi penguatan publik yang berlindung di balik topeng penguatan publik. Akan tetapi esensi usulannya adalah mengganti dasar Negara Pancasila dengan Dasar Negara Agama Islam.
3. Sponsor Pengusaha Dan Calon Tersangka KPPU ? Atau Karena Pengusaha Yang Bloon ?
Berikut adalah petikan dari pernyataan CSW
"......Biasanya praktk ini terjadi, sampai pengusaha Australia menyatakan untuk mendapat izin masuk Indonesia. mereka harus menyuap pejabat MUI. Ada pula cerita tentang 6 perusahaan Australia yang berusahamemperoleh sertifikat halal MUI.
Para pimpinan MUI minta diundang ke sana dan minta dibayar 300 dolar Australia per hari. Salah satu pimpinan MUI yang berkunjung ke Australia selama sepekan itu adalah KH Ma'fuf Amin.
Total mereka dibayar 275 juta. Padahal seharusnya biaya sertifikasi itu gratis. Sungguh malang bagi perusahaan-perusahaan Australia itu. Walaupun mereka sudah dibayar begitu besar.
MUI ternyata tidak bersedia mengeluarkan sertifikat halal. Penelusuran Tempo menunjukkan, sertifikat itu tidak keluar karena tim MUI didekati oleh lembaga pesaing enam perusaahaan tersebut. ..."
Narasi yang disampaikan oleh CSW ini menyinggung sebuah Lembaga Negara hasil Proses Reformasi 1998, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Mungkin CSW tidak kenal KPPU. Alangkah malangnya, sebuah organisasi yang mengaku akan menguatkan publik, tapi tidak mengenal KPPU, malah membawa ide berbahaya tentang dasar Negara Agama Islam, sama seperti yang dibawa oleh kelompok Khilafah yang terlarang itu.
KPPU adalah sebuah lembaga yang menjaga proses persaingan usaha di Indonesia, agar tetap ada iklim usaha yang fair dan terbuka. Tidak ada praktek-praktek bisnis busuk, monopoli dan praktek yang menguntungkan atau menghambat kegiatan bisnis siapapun di negeri ini.
Tuduhan penting lembaga underbow Khilafah ini (CSW maksudnya), pada MUI adalah tuduhan yang serius. Karena narasi nya membawa imajinasi masyarakat pada proses pengaturan bisnis dengan praktek saling menjegal, dengan menggunakan dalih sertifikasi halal. KPPU harus turun dan memeriksa underbow Khilafah yang terlarang, CSW. Karena pendapat CSW ini meresahkan dan mencemari dunia bisnis dalam negeri.
Di negeri ini, bisnis dijalankan dengan sangat terbuka, siapapun boleh berbisnis. Tindakan tidak terpuji, menghambat kegiatan bisnis pesaing, dengan langkah-langkah tidak terpuji, adalah ranah KPPU yang menjadi pengawal kegiatan bisnis di Indonesia.
Kenyataan yang terjadi adalah, tidak pernah ada gugatan dari manapun, soal persaingan bisnis yang disampaikan underbow Khilafah ini ke KPPU. Tuduhan dari CSW ini serius, karena menyangkut juga nama pejabat negara, yang sekarang menjadi Wakil Presiden, KH. Ma'ruf Amin. Tuduhan atau bahkan fitnah seperti ini, adalah hal lain yang tidak boleh dibiarkan begitu saja terjadi.
Fakta bahwa di KPPU tidak pernah ada gugatan dari 6 Perusahaan Australia ini, adalah bukti lain tidak validnya info yang disajikan oleh CSW, atau dalam bahasa populer sekarang, disebut info kaleng-kaleng.
Ide CSW ini, menyinggung KPPU sebagai lembaga negara yang menjaga kebebasan bisnis di Indonesia dari praktek praktek yang tidak baik. Tuduhan serius itu membuat KPPU harus melakukan proses audit khusus terhadap kasus yang disampaikan oleh CSW.
Proses pemeriksaan juga perlu dilakukan pada CSW, karena narasinya terhadap 6 perusahaan Australia itu, bisa tergolong promosi sponsor, pesanan bayaran, yang dilakukan oleh 6 perusahaan Australia itu dengan menggunakan LSM CSW. Tindakan tidak terpuji ini, menghina dunia usaha di Indonesia,
Narasi CSW ini, melenceng jauh, dari kajian awalnya, tentang sertifikasi halal, yang bahkan prosesnya, tidak difahami dengan baik oleh CSW. Narasi ngawur, soal sertifikasi Halal ini, malah dibelokkan ke narasi soal etika dan proses bisnis, yang jauh panggang dari api, dengan proses sertifikasi halal.
Tugas dari KPPU untuk meneruskan data info kaleng-kaleng dari CSW ini. Tugas KPPU juga untuk mendalami data kaleng kaleng ini, menjadi data yang valid untuk membersihkan tuduhan, bahwa dunia bisnis dan usaha nasional yang bebas terbuka, dan diawasi oleh KPPU ini, telah diinjak-injak oleh narasi tuduhan CSW.
4. Self Declare Produk Halal, Murah Bahkan Gratis, Tidak Pernah Ada Yang Menghalangi
Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal, UU No.33/2014, dengan sangat tegas menyatakan bahwa semua produk yang beredar di Indonesia harus jelas kehalalannya (atau keharamannya) (Lihat pasal 4). Sehingga yang tidak memiliki sertifikasi halal, akan mendapatkan sanksi, baik sanksi admnistratif bahkan sampai sanksi penarikan produk dari pasar Indonesia.
Undang-undang ini memang menyeramkan, sebagaimana yang diimajinasikan oleh CSW. Para warga +62 dan warga global oleh CSW, diajak untuk memahami, betapa MUI ini sangat powerfull dan bahkan memonopoli proses sertifikasi halal.
Sebuah pernyataan, yang hanya membuat penyesatan publik semata. Sayangnya hal itu dilakukan oleh lembaga yang mentasbihkan dirinya sebagai lembaga penguatan sipil.
Pengetahuan textual ngawur, soal UU Mo.33/2014 yang diwacanakan ke publik oleh CSW terbukti bertentangan dengan praktek dan ketentuan peraturan sertifikasi halal.
Sertifikasi halal, tidak begitu menyeramkan, sebagaimana yang diimajinasikan oleh CSW. Sertifikasi halal sangatlah sederhana dan tidak berbelit-belit atau bahkan sesulit yang diimajinasian oleh CSW.
Peran MUI dalam proses sertifasi halal, hanyalah sebagai lembaga pemberi fatwa saja. Dalam UU No.34/2014, disebutkan adanya LPH (Lembaga Pemeriksa Halal). Dalam pasal 23 PP N0.39/2021 yang menjadi aturan lebih lanjut, LPH disebutkan bisa didirikan oleh masyarakat, selain oleh pemerintah. Artinya ada ratusan bahkan ribuan LPH yang ada di seluruh Indonesia yang diijinkan untuk melayani proses sertifikasi halal. Jika melihat dengan hati-hati ketentuan perundangan ini, peran MUI tidaklah terlalu memonopoli seperti yang diimajinasikan oleh CSW.
Sistem dan proses sertifikasi halal sebenarnya sangat terbuka dan bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh ribuan bahkan ratusan ribu LPH di Indonesia. Bahkan negara telah menstandarkan kecepatan proses sertifikasi halal maksimal hanya 21 hari saja. Tidak ada data-data kaleng seperti yang dikatakan oleh CSW.
MUI juga tidak bisa dikatakan memonopoli dalam fatwa. Karena Fatwa MUI adalah fatwa yang dibuat oleh ahli hukum Al Qur'an dan As Sunnah dan proses nya terbuka. Jika fatwa yang diberikan oleh MUI melenceng dari Al Qur an dan As Sunnah, maka fatwa itu bisa dibantah secara terbuka oleh siapa saja. Sebutkan saja ayat Al Qur an dan As Sunnah yang dilanggar oleh fatwa MUI. Bantah saja MUI dan hal itu sah dilakukan dalam Agama Islam. Jika MUI salah dalam membuat fatwa maka boleh saja dibantah.
Siapa bilang MUI memonopoli fatwa ? Orang di luar agama Islam, yang tidak tahu, bagaimana fatwa itu dibuat dalam Agama Islam, yang mengatakan seperti itu. Tentu saja ada yang dalam proses pembahasan nya dilakukan secara tertutup, karena ahli ahli dalam hukum Al Qur'an dan As Sunnah, yang bicara dalam kaidah teknis yang tidak sederhana. Tapi jika fatwa yang diambil melenceng jauh, maka siapapun yang memahami hukum Al Qur an dan As Sunnah bisa menegur MUI. Akan tetapi semua juga tahu teguran itu pasti menggunakan dalil Al Qur'an dan As Sunnah, bukan hanya bermain kata-kata saja.
Sekali lagi, proses fatwa di MUI adalah proses internal dalam Agama Islam yang hanya difahami oleh mereka yang beragama Islam. Yang tidak beragama Islam tidak akan memahami lex specialis ini.
***
UU JPH mengamanahkan seluruh proses yang sangat terbuka ini. Ribuan lembaga boleh melakukan sertifikasi halal. Dan itu sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kemana aja CSW selama ini ? Ada ratusan lembaga bukan MUI yang melakukan proses sertifikasi halal. Mungkin saat itu anggota CSW, masih kuliah atau masih kecil dan bayi, jadi gagal menegetahui hal ini.
Proses sertifikasi halal sudah dilakukan belasan tahun di Indonesia. Dan memang kemudian lebih dikuatkan prosesnya oleh UU pada tahun 2014. Akan tetapi esensi dan praktek legalisasi produk halal itu telah dilakukan selama bertahun-tahun.
Yang unik lagi bahkan Perguruan Tinggi pun diijinkan menjadi LPH. Jadi tuduhan bahwa MUI, adalah pemegang monopoli sertifikasi halal oleh CSW adalah sebuah ilusi kebohongan yang dibuat oleh CSW. Bukan MUI pemegang monopoli sertifikasi halal, akan tetapi masyarakat civil society lah, yang saat ini menjadi pemegang proses sertifikasi halal.
Imajinasi ilutif yang dibuat oleh CSW, sungguh akan membuat tersesat, siapapun yang tidak memahami dengan baik, proses sertifikasi halal. Kasus kaleng-kaleng atau bahkan kasus bohong perusahaan Australia, dan Perusahaan Jerman yang diangkat oleh CSW hanyalah sebuah tontonan, yang menunjukkan ketidakfahaman CSW terhadap proses luar biasa mudah yang ada dalam proses sertifkasi halal.
Salah satu Narasi CSW adalah sebagai berikut :
".....Salah satu pengusaha menunjukkan bukti bukti transfer ke sejumlah rekening pimpinan Majelis Ulama Indonesia. Besarnya bervariasi, dari puluhan juta sampai di atas 100 juta rupiah per satu orang.
Biasanya praktik ini terjadi, sampai pengusaha Australia menyatakan untuk mendapat izin masuk Indonesia. mereka harus menyuap pejabat MUI.
Ada pula cerita tentang 6 perusahaan Australia yang berusaha memperoleh sertifikat halal MUI.
Para pimpinan MUI mnta diundang ke sana dan minta dibayar 300 dolar Australia per hari. Salah satu pimpinan MUI yang berkunjung ke Australia selama sepekan itu adalah KH Ma'fuf Amin.
Total mereka dibayar 275 juta. Padahal seharusnya biaya sertifikasi itu gratis......Sungguh malang bagi perusahaan-perusahaan Australia itu.
Walaupun mereka sudah dibayar begitu besar. ...."
Pertanyaannya adalah, untuk apa uang sebesar itu. Jangan-jangan memang pengusaha Australia itu sendiri yang blo'on. Mohon maaf mengatakan pengusaha Australia blo'on. Tapi kalau blo'on ya harus dikatakan blo'on. Apakah semua yang asalnya dari Australia dijamin tidak bebas dari Ke "blo'on" an. Mohon maaf tapi hal itu harus disampaikan untuk koreksi atas hal yang salah yang dilakukan oleh yang katanya pengusaha Australia itu. Masyarakat kita, termasuk CSW, terlalu terpesona dengan hal yang berbau kebarat-baratan. Asal terkait dengan barat maka seolah-olah tak ada unsur kebodohannya atau ke blo'on annya.
Sertifkasi halal seharusnya gratis, kata narasi CSW. CSW menggiring opini dan membuat opini bahwa sertifikasi adalah proses yang mahal dan tidak jelas. Padahal pungutan negara, yang dilakukan dalam proses sertifikasi halal, bahkan setiap rupiahnya, diatur ketentuannya dengan detil oleh Menteri Keuangan. Cukup hanya membayar 300 ribu untuk sertifikasi halal atau paling mahal 5 juta. Tidak sampai ratusan juta seperti yang dinarasikan, dengan salah oleh CSW.
Bahkan negara bisa memberikan gratis sertifikasi halal, melalui skema APBN, APBD, dan juga bantuan masyarakat bentuk lain. Jadi di mana letak mahalnya proses sertfikasi halal itu. Pengusaha Australia, yang disebut-sebut CSW, jika benar ada, maka itu pasti pengusaha blo'on.
Serifikasi halal bisa diberikan gratis, kok malah bayar ratusan juta. Bukti transfer yang ditunjukkan itu, pasti karena si pengusaha, punya hutang, yang sudah puluhan tahun tidak dibayar. Ya wajar kalau dia harus membayar hutang ratusan juta.
Janganlah membuat bodoh publik, dengan narasi yang bodoh dan kaleng-kaleng. Lembaga penguatan publik itu, harus menguatkan publik dengan informasi yang benar. Bukan informasi bohong, kaleng-kaleng atau bahkan hoax.
CSW mau bicara apa lagi ? Semua tesis yang dinarasikan semuanya tertolak, dengan realitas yang ada dalam proses sertifikasi halal. Jangan membuat bodoh publik. Kuatkanlah publik dengan informasi yang benar, jangan informasi sampah diberikan kepada publik.
CSW pasti juga tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa sertifikasi halal itu bisa dilakukan juga dengan mekanisme Self Declare. Proses self declare itu disebutkan di dalam pasal 80, PP.39/2021.
Tidak ada hambatan apapun juga, bagi siapapun untuk memberikan deklarasi produk halal melalui mekanisme self declare. Jangan membuat publik bingung, takut dan bodoh. Pengusaha atau siapapun, bisa mendeklarasikan bahwa produknya adalah produk halal. Tak perlu bahkan uji laboratorium atau tetek bengek yang ditunjukkan berbusa-busa oleh narasi kaleng-kaleng CSW.
Pengusaha Australia itu, jika memang tidak punya uang, atau punya uang tapi kikir, tak mau memberikan uangnya untuk membantu pendapatan negara, bisa mendeklarasikan produknya halal (kalau memang benar halal) dengan mekanisme self declare, kenapa harus menyeret-nyeret MUI ?
Kalau pengusaha Australia itu tidak blo'on dia juga bisa memilih sertifikasi halal gratis (bukan seandainya seperti kata CSW. Sertifikasi gratis itu ada !!! Bukan hanya seandai ada, seperti narasi CSW). Atau ski penguasaha bisa juga menempuh mekanisme self declare seperti yang telah disebutkan.
Mekanisme nya ada, sertifkasi halal gratis ada, self declare ada. Kalau mereka pengusaha Australia mengeluh ini itu, dan disuarakan kembali oleh CSW. Siapa yang tidak jelas, cobak (pikirkan) ?
Ada yang gratis dan boleh self declare, kenapa malah pilih jalan yang aneh-aneh seperti yang dikatakan CSW ? Atau jangan-jangan memang punya tujuan jahat ? Ingin menjebak ... Atau cuman karena blo'on (catatan : Bloon adalah kata pengganti ketidak-tahu-an yang amat sangat parah, kata blo'on dipakai bukan untuk menghina, akan tetapi untuk menunjukkan betapa parahnya ketidaktahuan dari para pengusaha ini, tidak mungkin menggunakan kata debil misalnya, kata blo'on lebih dipilih dengan alasan seperti itu, bukan untuk menghina )
Jika pengusaha blo'on, ya untuk apa jadi pengusaha. Pengusaha luar negeri, ya harus cerdas dan bisa memahami dengan komprehensif seluruh aturan hukum yang berlaku di NKRI. Apalagi pengusaha antar negara. Nasihat gratis berikutnya, jangan memakai CSW sebagai konsultan produk halal, karena pasti akan lebih disesatkan lagi. Bisa gratis kok, malah disuruh bayar. Bisa self declare kok, malah disuruh ke MUI. Gimana sih.
Self declare apakah itu ? Self declare adalah itu melakukan akad di hadapan Allah dan Rasul Nya, bahwa produk yang diproduksi adalah halal. Self declare itu sangat sederhana, cukup mengakui bahwa di depan Allah dan Rasulullah produknya halal. Cukup seperti itu saja. Sangat sederhana. Tak perlu banyak cing cong, cukup dengan sepatah dua patah kata saja, proses sertifikasi halal sudah sah. Terus apa gunanya uang ratusan juta yang disebut-sebut CSW ?
" Di hadapan Allah dan Rasulullah... saya pengusaha dengan produk bla bla melakukan self declare... menyatakan bahwa produk saya halal... dengan saksi Allah dan Rasulullah "
Cukup seperti itu saja. Produk anda pun langsung ber sertifikasi halal. Sertifikasi halal bukanlah lambang sertifikat. Akan tetapi sertifikasi halal adalah akad di hadapan Allah dan Rasulullah, bahwa produknya halal. Kalau bukan orang Islam pasti tidak faham proses yang beginian.
Proses sertikasi halal berdasarkan UU atau bahkan yang telah terjadi sebelum adanya UU Produk Halal ini, jelas tidak dikuasai dengan baik oleh CSW. Sehingga prosesnya di kepala orang-orang penganut atau underbow khilafah ini menjadi begitu rumit.
Atau bahkan mungkin yang memegang organisasi CSW adalah Islam KTP saja. Mengaku beragama Islam, tapi tak pernah faham kedudukan fatwa, dalam kehidupan ibadah seorang muslim. Atau yang lebih menyedihkan lagi jika CSW anggotanya bukan mereka yang beragama Islam ?
Bagaimana bisa memahami hukum dalam Agama Islam, jika yang bicara soal hukum Agama Islam bukan seorang yang faqih dalam hukum Agama Islam, apalagi bukan seorang muslim.
CSW harusnya berkaca dari kebodohan yang dilakukan oleh AHOK, Basuki Purnama. Si warga sok pintar, yang beragama bukan Islam, lalu bicara soal hukum dalam Agama Islam. Jangan Mau Dibodohi oleh Surat Al Maidah Ayat 51. Bagaimana seorang pejabat publik, masuk dalam ranah agama, dan kemudian menyinggung praktek beragama. Yang lebih parah adalah sang pejabat tidak beragama Islam. Seolah-olah lebih faham hukum Agama Islam, dari orang Islam sendiri. Pengadilan NKRI yang berdasarkan Pancasila pun menjatuhkan hukuman penistaan Agama kepada beliau. Apakah contoh menyakitkan itu tidak membuat CSW faham ? Kalau memang tidak faham hukum Agama Islam, apalagi bukan pemeluk Agama yang bersangkutan (Islam), sebaiknya jangan bicara tentang Agama Islam.
Beda lagi dengan apa yang dikatakan oleh Kasad Dudung. Kasad Dudung adalah pemeluk Agama Islam. Kalau ada pendapatnya yang agak aneh soal beragama itu bisa didiskusikan internal Agama Islam sendiri. Para fuqaha yang faham Al Qur'an dan As Sunnah boleh saja berdiskusi terbuka dengan Pak Kasad. Boleh-boleh saja.
Dalam negara NKRI ini, ada dasar Pancasila. Di mana hukum negara berjalan, di mana kaidah-kaidah agama dijalankan, di mana posisi adat istiadat, sangat kompleks negeri ini. Tidak mudah mengelola negeri dengan ratusan etnis, ribuan komplesitas yang ada. Untunglah ada Pancasila yang mengayomi semuanya.
Langkah yang berhati-hati harus selalu dilakukan. Jika tidak, maka penalaran dangkal, yang diangkat oleh CSW, hanyalah akan jadi obyek diskusi yang malah menyesatkan.
Korupsi yang terjadi di Kementerian Sosial dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah ulah oknum. Tapi apakah kemudian Kementerian Sosial dan KKP harus dibubarkan ? Seperti juga MUI dipinggirkan karena ulah oknum ? Buktikan dulu atau buktikan saja ulah para oknum ini.
Tapi menuduh ada aliran dana haram, di dalam MUI itu, tidak sederhana. Definisi haram mana yang diambil oleh CSW ? Halal dan Haram ditentukan oleh sebuah proses fatwa oleh para ulama. Kalau bukan ulama, dari mana dalilnya CSW menyatakan ada aliran dana haram di MUI. Dalil ayat Al Qur an dan As Sunnah yang mana yang digunakan oleh CSW. Sebaiknya CSW mengungkapkan dalil-dalil berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an dan As Sunnah. Itu jauh lebih elegant buat CSW.
Atau jangan-jangan memegang Al Qur an saja tidak pernah dilakukan oleh CSW ? Apalagi membaca dan memahami Al Qur an dan As Sunnah. Jadi dari mana dalil haram yang dibuat oleh CSW terhadap aliran dana yang ada di MUI ?
Bukan sedang membela MUI, akan tetapi harus difahami dengan baik, bahwa pembuatan dalil haral dan haram itu, dasarnya adalah ayat Al Qur'an dan As Sunnah ...Bukan karena dorongan syahwat dan hawa nafsu...Bukan karena benci dan dendam...Tapi karena memang itu jelas ditunjukkan di dalam Al Qur an dan As Sunnah sebagai sumber hukum para pemeluk Agama Islam.
Baca Juga :